Era modern menjanjikan rasionalitas dan kemajuan. Namun kenyataannya, masyarakat semakin tunduk pada irasionalitas dalam bentuk baru: kultus selebriti, kepercayaan pada algoritma, dan konsumerisme. Baca analisis mendalam berdasarkan pemikiran Horkheimer, Adorno, dan Zygmunt Bauman.

Irasionalitas Modern: Ketika Kemajuan Justru Menyuburkan Kebodohan Baru
Bagaimana mungkin di tengah segala kecanggihan zaman, manusia justru makin sulit berpikir jernih? Kita hidup dalam era yang dipenuhi teknologi mutakhir, akses informasi tanpa batas, dan jargon-jargon rasionalitas — namun pada saat yang sama, teori konspirasi merajalela, selebritas dijadikan nabi, dan kebahagiaan diukur dari keranjang belanja. Dunia yang katanya tercerahkan ini justru menjadi ladang subur bagi bentuk-bentuk kebodohan baru yang lebih canggih, lebih halus, dan lebih sulit dikenali.
Modernitas tidak menyingkirkan irasionalitas; ia justru memproduksinya dalam format yang tampak rasional. Ia tidak membebaskan manusia, tapi memenjarakan kesadarannya dalam sistem yang memuja efisiensi sambil menyingkirkan makna. Seperti yang pernah diperingatkan oleh para pemikir Kritis seperti Horkheimer, Adorno, dan Bauman, kemajuan tanpa kritik hanya akan melahirkan manusia-manusia yang secara teknis canggih namun secara moral dan kesadaran sosial lumpuh.
Rasionalitas Instrumental dan Perbudakan Modern
Max Horkheimer dan Theodor Adorno, dua pemikir utama dari Mazhab Frankfurt, pernah mengkritik keras apa yang mereka sebut sebagai rasionalitas instrumental—yaitu rasionalitas yang semata-mata mengejar efisiensi, manfaat teknis, dan kontrol, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etis, humanistik, atau emansipatoris. Dalam Dialectic of Enlightenment, mereka menjelaskan bahwa Pencerahan (Enlightenment), yang awalnya bertujuan membebaskan manusia dari mitos dan takhayul, justru menciptakan bentuk baru dari dominasi melalui sains, birokrasi, dan industri budaya.
Hari ini, rasionalitas instrumental menjelma dalam bentuk algoritma, big data, dan logika efisiensi korporasi. Kita menyerahkan keputusan penting dalam hidup — dari pasangan hidup, arah politik, hingga konsumsi sehari-hari — kepada sistem digital yang kita tak pahami sepenuhnya. Manusia bukan lagi subjek yang menentukan, tapi objek dari sistem rasional yang tak bermoral.
Budaya Pop: Pemujaan yang Tak Rasional
Dalam kritik terhadap industri budaya, Adorno mengungkapkan bagaimana kapitalisme membentuk kesadaran massal melalui media, hiburan, dan pop culture. Hiburan tidak lagi bersifat membebaskan atau membangun kesadaran kritis, melainkan menjadi alat anestesi sosial yang menjinakkan potensi perlawanan.
Contohnya terlihat dalam fenomena kultus selebriti dan influencer. Opini publik bisa dibentuk oleh tokoh-tokoh populer, bukan karena kualitas argumen mereka, melainkan karena daya tarik visual dan personal branding. Selebriti menjadi nabi modern yang kata-katanya dipercaya lebih dari akademisi atau ilmuwan, menciptakan bentuk irasionalitas yang dikonsumsi massal dan disebarluaskan secara viral.
Kecanduan Konsumerisme: Ketika Diri Diukur Lewat Barang
Zygmunt Bauman, sosiolog asal Polandia, dalam Consuming Life menggambarkan bagaimana masyarakat konsumen menciptakan identitas melalui barang dan gaya hidup. Nilai seseorang tidak lagi dilihat dari kontribusinya dalam kehidupan sosial, tetapi dari kemampuannya membeli, menampilkan, dan mengikuti tren. Konsumerisme bukan hanya menjadi sistem ekonomi, melainkan menjadi ideologi yang mendikte seluruh aspek kehidupan.
Kita hidup dalam logika irasional yang menganggap kebahagiaan sebagai hasil dari kepemilikan barang, bukan dari relasi yang sehat atau pemenuhan makna hidup. Bahkan spiritualitas pun telah dipasarkan: dari yoga yang dimodifikasi menjadi gaya hidup mahal, hingga kristal penyembuh dan zodiak yang dijual dalam kemasan modern dan eksklusif.
Digitalisasi dan Kepercayaan Buta pada Teknologi
Ironisnya, semakin canggih teknologi yang kita miliki, semakin kita bersikap irasional terhadapnya. Keputusan yang dulu memerlukan nalar kini diserahkan pada aplikasi dan algoritma. Kita mencari kebenaran bukan lewat proses berpikir, tetapi lewat apa yang trending. Inilah bentuk baru dari mitos — mitos algoritmik — yang tidak kalah berbahaya dari mitos zaman dahulu.
Adorno menyebut ini sebagai bentuk pseudo-rasionalitas, di mana sistem tampak logis dan teknis, tapi sejatinya menindas dan menutup kemungkinan berpikir kritis. Kita menganggap pilihan kita bebas, padahal telah diprogram sedemikian rupa oleh logika pasar dan kekuatan modal.
Workaholism dan Rasionalisasi Eksploitasi
Irasionalitas modern juga menyelinap dalam cara kita memaknai kerja. Kerja berlebihan bukan hanya dinormalisasi, tetapi dipuja. Seseorang yang bekerja 12 jam sehari dianggap lebih sukses dan layak dihormati, sementara yang menolak sistem ini dicap malas atau tidak produktif. Ini adalah bentuk lain dari rasionalitas yang membenarkan perbudakan diri, di mana manusia mengeksploitasi dirinya sendiri demi memenuhi standar produktivitas yang ditentukan pasar.
Horkheimer menyebut fenomena ini sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap sistem yang tidak manusiawi, yang sayangnya dianggap sebagai bagian dari “normalitas” hidup modern.
Penutup: Modern Tapi Irasional
Irasionalitas modern bukan berarti kembali pada tahayul atau dunia tanpa logika. Justru sebaliknya — ia bersembunyi dalam struktur yang sangat rasional, dalam sistem yang tampak objektif, ilmiah, dan teknis. Tapi di balik itu semua, ada dominasi, penyesatan, dan peredaman kesadaran kritis.
Seperti yang ditulis oleh Adorno dan Horkheimer:
“Enlightenment, in the age of fully enlightened civilization, is more and more becoming mass deception.”
Dan sebagaimana Bauman mengingatkan,
“Kita hidup dalam zaman di mana manusia merasa bebas, padahal seluruh hidupnya diarahkan oleh keinginan yang bukan miliknya.”
Maka tugas kita sebagai individu modern bukan sekadar hidup dalam kemajuan, tetapi membongkar bentuk-bentuk irasionalitas yang tersembunyi di baliknya. Sebab, sebagaimana dahulu kita melawan mitos dan dogma, kini kita harus melawan sistem yang menggunakan akal untuk menyingkirkan akal itu sendiri.
Be First to Comment