Esai

Bangsa Yang Enggan Berdialektika Akan Tersesat Pada Kekaburan Logika
Di tengah era limpahan informasi dan konflik multidimensi, kita menyaksikan bagaimana masyarakat — dalam skala kecil maupun besar — semakin tergelincir dalam pola pikir instan dan perilaku reaksioner. Fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul sebagai konsekuensi dari kebisuan bangsa dalam menghadapi problematika yang menghimpit kehidupannya. Kebisuan ini bukan hanya dalam bentuk diam literal, melainkan lebih sebagai keengganan untuk berdialektika: suatu ketakutan atau kemalasan kolektif untuk terlibat dalam proses berpikir yang rasional, reflektif, dan mendalam. Bangsa yang demikian tidak hanya menjauh dari kebenaran, tetapi juga tenggelam dalam kekaburan logika—terombang-ambing oleh opini, propaganda, dan emosi tanpa akar.
Dialektika: Pilar Kesadaran Sejarah
Dalam filsafat Hegel, dialektika bukan sekadar metode berpikir, tetapi sebuah proses sejarah yang membawa manusia menuju kesadaran diri dan kebebasan. Bagi Hegel, setiap tesis akan memunculkan antitesis, dan dari ketegangan itu lahir sintesis — sebuah pencapaian kesadaran baru yang lebih tinggi. Proses ini tidak berhenti; ia bergerak terus dalam dinamika sejarah. Masyarakat yang berpikir secara dialektis adalah masyarakat yang mampu mengolah kontradiksi, memahami kerumitan, dan mendekati kebenaran melalui negasi dan refleksi.
Namun, ketika sebuah bangsa menolak berdialektika, ia memutus rantai progres kesadaran. Ia memilih simplifikasi berlebihan terhadap permasalahan kompleks. Ia memuja kepastian semu, dan menolak ambiguitas yang sebenarnya perlu untuk berpikir. Bangsa seperti ini tidak belajar dari sejarah, karena ia memutlakkan masa kini. Ia pun mudah termakan narasi tunggal, mudah digiring oleh emosi, dan sulit membedakan antara sebab dan akibat.
Reaksioner: Hasil dari Kemandekan Nalar
Masyarakat yang tidak terbiasa berdialektika akan menjadi masyarakat yang dangkal secara berpikir. Dalam ketiadaan proses reflektif, respons yang muncul terhadap situasi sosial-politik hanyalah reaksi sesaat, bukan sikap kritis yang terukur. Mereka mudah marah, cepat tersinggung, dan selalu mencari kambing hitam atas masalah yang bahkan belum dipahaminya.
Jean-Paul Sartre pernah menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, dalam artian bahwa kita bertanggung jawab penuh atas pilihan dan tindakan kita di dunia yang absurd ini. Namun kebebasan itu mensyaratkan kesadaran yang tinggi akan kondisi eksistensial kita. Ketika sebuah bangsa menolak untuk berdialektika, ia menolak pula untuk memikul tanggung jawab atas kebebasannya. Ia lebih senang menjadi objek dari sejarah, bukan subjek yang menulis narasinya sendiri. Dalam kebisuan berpikir, kebebasan hanya menjadi jargon kosong—tidak pernah benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sosial-politik.
Absurd dan Kekaburan Logika
Albert Camus menggarisbawahi absurditas hidup: ketegangan antara pencarian manusia akan makna dan ketidakpedulian alam semesta. Namun bagi Camus, solusi bukanlah menyerah, melainkan memberontak secara sadar. Pemberontakan ini bukanlah amarah tanpa kendali, tetapi sebuah kesadaran tragis yang mendalam bahwa hidup perlu dijalani secara otentik meski penuh ketidakpastian.
Dalam konteks bangsa yang bisu dan tidak berdialektika, absurditas hadir sebagai kekaburan logika yang tak pernah dipertanyakan. Ketika masyarakat tidak diajak berpikir, ketika pendidikan publik gagal melatih nalar, maka kebenaran menjadi samar. Segala sesuatu tampak benar jika disampaikan dengan cukup keras atau cukup sering. Media sosial mempercepat siklus ini: opini liar, informasi setengah matang, dan emosi kolektif membentuk atmosfer intelektual yang keruh. Logika dikaburkan, bukan oleh konspirasi besar, tetapi oleh kemalasan berpikir yang sistemik.
Pentingnya Menghidupkan Dialektika
Bangsa yang ingin maju tidak boleh hanya bergantung pada pembangunan infrastruktur atau teknologi. Ia harus membangun kesadaran berpikir kolektif. Dialektika harus diajarkan, dibiasakan, dan dijadikan fondasi dalam pengambilan keputusan—baik di ranah individu maupun institusional. Ini berarti membangun ruang dialog yang sehat, memelihara perbedaan pandangan, dan melatih masyarakat untuk tidak takut pada ambiguitas.
Kita tidak bisa berharap pada perubahan jika rakyat hanya menjadi penonton dari problematika bangsanya sendiri. Pendidikan kritis harus hadir, bukan sebagai kurikulum formalitas, tetapi sebagai praktik hidup. Sebab dalam dialektika, rakyat belajar bahwa setiap masalah memiliki akar, dan setiap akar bisa ditelusuri dengan logika, bukan sekadar insting.
Penutup: Jalan Menuju Kecerdasan Kolektif
Bangsa yang enggan berdialektika akan terjebak dalam lingkaran setan: masalah muncul, respons reaksioner diberikan, solusi semu diambil, lalu masalah yang sama berulang dalam bentuk berbeda. Tanpa kemampuan berdialektika, bangsa tidak akan sampai pada substansi persoalan, apalagi membangun peradaban yang tahan terhadap krisis.
Sebagaimana Hegel menekankan pentingnya kesadaran historis dan logika dalam memahami realitas, Sartre dan Camus pun menegaskan pentingnya kebebasan berpikir dan keberanian dalam absurditas. Dari mereka, kita belajar bahwa berpikir bukan hanya tugas intelektual, melainkan kewajiban moral. Bangsa yang berpikir adalah bangsa yang hidup. Bangsa yang hanya bereaksi adalah bangsa yang sekarat.
Sudah saatnya kita tidak hanya bicara tentang perubahan, tetapi mengubah cara kita berpikir tentang dunia. Dialektika adalah kuncinya. Tanpa itu, kita hanyalah kawanan dalam kabut, tersesat tanpa arah, dan terus bertabrakan dengan kenyataan yang tak kita pahami.
Be First to Comment