Press "Enter" to skip to content

BUMI BUKAN PROPERTI PRIBADI MANUSIA “Menelanjangi Antroposentrisme dan Arogansi Eksistensial dalam Hubungan Manusia dengan Alam”

Esai

ilustrasi by pinterest

BUMI BUKAN PROPERTI PRIBADI MANUSIA
Menelanjangi Antroposentrisme dan Arogansi Eksistensial dalam Hubungan Manusia dengan Alam

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, satu kesalahan fatal terus direproduksi lintas zaman: keyakinan bahwa Bumi diciptakan semata-mata untuk manusia. Pandangan ini bukan sekadar kekeliruan intelektual, tetapi telah menjadi fondasi bagi kerusakan ekologis global. Dalam kerangka berpikir antroposentrisme—suatu paham yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta—alam direduksi menjadi instrumen, bukan entitas yang memiliki nilai intrinsik. Di tangan manusia modern, Bumi bukan lagi rumah bersama, melainkan sepetak “properti pribadi” yang sah untuk dikelola, dieksploitasi, bahkan dihancurkan.

Warisan Antroposentrisme: Manusia Sebagai “Tuan”

Antroposentrisme telah berakar sejak era Yunani Kuno, di mana Aristoteles menyatakan bahwa “alam ada untuk melayani kebutuhan manusia.” Meski banyak filsuf setelahnya mencoba membongkar pandangan ini, warisan logika ini masih hidup dalam kebijakan, industri, hingga narasi religius yang menempatkan manusia sebagai penjaga atau bahkan penyelamat bumi. Namun, bukankah konsep “penyelamat bumi” itu sendiri merupakan bentuk baru dari arogansi?

Filsuf ekologi Arne Naess mengkritik tajam pandangan ini lewat teorinya tentang Deep Ecology, di mana ia menolak pembedaan nilai antara manusia dan spesies lainnya. Menurut Naess, “hak untuk hidup dan berkembang tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga semua makhluk hidup lainnya.” Sementara itu, Martin Heidegger, dalam renungannya mengenai teknologi, menyebut bahwa manusia modern telah mengubah alam menjadi sekadar “standing reserve”—sumber daya siap pakai yang siap dieksploitasi kapan saja.

“Sang Penyelamat” yang Merusak

Dalam narasi dominan masa kini, manusia sering digambarkan sebagai agen perubahan positif bagi Bumi. Lihatlah kampanye iklim oleh korporasi besar yang sebenarnya merupakan pelaku utama perusakan ekosistem. Sementara masyarakat digiring untuk menanam pohon dan mengurangi plastik, perusahaan minyak dan pertambangan terus melubangi perut Bumi atas nama kemajuan.

Di sinilah letak ironi besar zaman ini: manusia merasa sebagai penyelamat, padahal ia adalah pelaku utama dari kehancuran yang tengah berlangsung. Ekspansi kota, penambangan, deforestasi, dan polusi dilakukan dengan penuh pembenaran atas nama “kebutuhan manusia.” Seolah-olah, karena bisa berpikir dan berinovasi, manusia punya hak untuk menata ulang seluruh wajah planet ini.

Padahal seperti kata tokoh filsuf Amerika, Aldo Leopold, “Tanpa rasa hormat terhadap hak-hak elemen lain di alam, kita hanyalah bandit dalam komunitas ekologis.”

Bumi Tidak Memerlukan Penyelamat—Ia Memerlukan Perdamian

Kita harus berani menyatakan bahwa Bumi tidak pernah meminta untuk diselamatkan. Ia hanya butuh dihormati. Ketika manusia berbicara tentang “menjaga lingkungan,” seringkali yang dimaksud hanyalah menjaga keberlangsungan sumber daya bagi manusia sendiri, bukan untuk keutuhan sistem kehidupan secara holistik. Ini adalah bentuk kolonialisme ekologis—di mana manusia menjadi penjajah atas dunia non-manusia.

Dalam konteks ini, pandangan Albert Schweitzer tentang Reverence for Life (rasa hormat terhadap kehidupan) menjadi relevan. Schweitzer menekankan bahwa semua kehidupan memiliki nilai, dan tugas etis kita bukanlah mengatur alam, melainkan hidup berdampingan dengannya.

Kepemilikan atau Hubungan?

Masyarakat modern kerap memaknai bumi sebagai “tanah milik”—dipagari, dibeli, dijual, bahkan diwariskan. Konsep kepemilikan ini menjadikan hubungan manusia dan alam sebagai transaksi ekonomi belaka. Namun, bagaimana mungkin seseorang mengklaim memiliki sepetak tanah, seolah-olah bagian dari planet ini bisa dicacah menjadi sertifikat?

Filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau, dalam tulisannya Discourse on Inequality, dengan getir menyatakan: “Bumi tidak dimiliki siapa pun; kesenjangan dimulai saat seseorang berpikir bisa memagari tanah dan berkata ‘ini milikku’.” Maka dari itu, akar dari dominasi terhadap alam bukan sekadar ketamakan, melainkan cara berpikir yang memandang relasi sebagai struktur kepemilikan, bukan keterhubungan.

Wacana Baru: Menggeser Perspektif Eksistensial

Sudah saatnya kita membongkar wacana lama yang menyandarkan manusia sebagai pusat tata nilai kehidupan. Kebutuhan zaman ini adalah ekosentrisme—suatu pandangan yang menempatkan seluruh bentuk kehidupan dalam satu jalinan saling ketergantungan. Dalam filsafat Timur, khususnya Taoisme, hal ini sudah lama dikenal. Konsep wu wei (bertindak tanpa memaksa) mengajarkan hidup selaras dengan alam, bukan menaklukkannya.

Pandangan seperti ini juga diusung oleh Vandana Shiva, filsuf dan aktivis ekofeminisme asal India, yang menyebut bahwa “krisis ekologis adalah hasil dari dominasi—baik terhadap perempuan maupun terhadap alam.” Ia menunjukkan bagaimana sistem patriarki, kapitalisme, dan kolonialisme telah bekerja sama dalam mengeksploitasi alam demi keuntungan segelintir elite.

Menolak Peran “Tuhan Kedua”

Dengan menyebut diri sebagai “penjaga bumi,” manusia telah memberi dirinya peran sebagai Tuhan kedua: penentu nasib, pengatur hidup, dan penguasa atas semua makhluk. Pandangan ini tidak hanya sombong, tetapi juga destruktif. Ia mengingkari fakta sederhana bahwa manusia adalah bagian kecil dari sistem kehidupan yang luas.

Filsuf kontemporer Timothy Morton menyebut Bumi sebagai hyperobject—sesuatu yang begitu besar, kompleks, dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia, hingga tidak bisa sepenuhnya dipahami atau dikendalikan. Morton menyarankan agar manusia melepaskan obsesi kontrol terhadap alam dan belajar untuk hidup dengan ketidakpastian serta keagungan ekologis yang tak bisa sepenuhnya dijinakkan.

Penutup: Kembali Menjadi Bagian, Bukan Penguasa

Esai ini adalah undangan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Bumi bukan properti pribadi manusia. Ia bukan objek investasi, bukan arena pembangunan, apalagi panggung eksistensi ego spesies tunggal. Ia adalah rumah bersama—tempat di mana manusia hanyalah satu benang dalam tenunan ekosistem yang lebih besar.

Kita tidak butuh lebih banyak “penyelamat bumi.” Kita butuh lebih banyak pendengar, pengamat, dan penghuni yang rendah hati. Saatnya mengubah narasi: bukan manusia yang menyelamatkan bumi, tetapi bumi yang perlu diselamatkan dari manusia yang lupa bahwa ia tidak pernah jadi pemilik, hanya penumpang.


Referensi Kutipan Tokoh:

  • Arne Naess – Deep Ecology of Wisdom
  • Martin Heidegger – The Question Concerning Technology
  • Aldo Leopold – A Sand County Almanac
  • Jean-Jacques Rousseau – Discourse on Inequality
  • Albert Schweitzer – Reverence for Life
  • Vandana Shiva – Staying Alive: Women, Ecology and Development
  • Timothy Morton – Hyperobjects: Philosophy and Ecology after the End of the World

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *