Sejarah

Wikileaks: Sejarah, Perjuangan, dan Kontroversi Sebuah Corong Kebebasan Media
Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, di mana informasi menjadi komoditas paling berharga, muncul satu nama yang mengguncang struktur kekuasaan global: WikiLeaks. Didirikan oleh seorang tokoh kontroversial, Julian Assange, WikiLeaks bukan sekadar sebuah situs web; ia adalah gerakan, simbol, dan senjata perlawanan terhadap dominasi informasi oleh kekuasaan negara dan korporasi. Artikel ini mengupas secara mendalam sejarah WikiLeaks, dampaknya terhadap kebebasan pers, serta kontroversi yang membelitnya dari berbagai sudut pandang.
Awal Mula WikiLeaks: Lahir dari Idealisme
WikiLeaks resmi diluncurkan pada Desember 2006 oleh Julian Assange, seorang mantan hacker asal Australia yang memiliki pandangan mendalam tentang pentingnya transparansi pemerintah. Dengan menggabungkan teknologi enkripsi tingkat tinggi dan jaringan sumber anonim global, WikiLeaks bertujuan untuk menjadi wadah bagi para whistleblower untuk mengungkap dokumen rahasia yang menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM, hingga praktik korupsi.
Situs ini memposisikan dirinya sebagai pelindung kebenaran dan akuntabilitas. “Kekuatan tanpa pengawasan akan selalu menyimpang. Transparansi adalah satu-satunya kontrol nyata atas kekuasaan,” ujar Assange dalam salah satu wawancaranya di tahun 2010. Filosofi ini menjadi dasar operasional WikiLeaks, yang dengan cepat memperoleh pengaruh global.
Publikasi yang Mengguncang Dunia
Nama WikiLeaks mencuat ke permukaan global setelah tahun 2010, ketika mereka menerbitkan video “Collateral Murder” yang menunjukkan helikopter militer AS menembaki warga sipil, termasuk jurnalis Reuters, di Irak. Ini adalah momen yang membelalakkan mata dunia.
Tak lama kemudian, WikiLeaks mempublikasikan sekitar 400.000 dokumen perang Irak dan 90.000 dokumen terkait perang di Afghanistan. Puncaknya adalah rilis “Cablegate”, lebih dari 250.000 kawat diplomatik milik Departemen Luar Negeri AS yang mengungkap pandangan jujur para diplomat Amerika terhadap negara-negara lain dan isu-isu global.
Beberapa publikasi besar lainnya yang mengguncang dunia antara lain:
- Guantánamo Files (2011): Lebih dari 700 dokumen yang mengungkap detail penahanan tanpa proses hukum dan penyiksaan di penjara militer AS di Teluk Guantánamo.
- Syria Files (2012): Sekitar 2 juta email dari tokoh-tokoh pemerintah dan perusahaan Suriah yang mengungkap hubungan bisnis Barat dengan rezim Bashar al-Assad selama konflik sipil berlangsung.
- TPP, TTIP, dan TISA Leaks (2013-2016): Dokumen-dokumen perundingan perjanjian dagang rahasia yang memperlihatkan bagaimana korporasi multinasional mendikte kebijakan ekonomi dan hukum lintas negara tanpa pengawasan publik.
- DNC Email Leak (2016): Ribuan email dari Komite Nasional Partai Demokrat AS yang mengungkap favoritisme terhadap Hillary Clinton dalam pilpres, yang berdampak besar terhadap dinamika politik AS.
Kebocoran ini sebagian besar diberikan oleh Chelsea Manning, mantan analis intelijen militer AS. Dampaknya begitu luas hingga menyebabkan ketegangan diplomatik dan reformasi dalam sistem keamanan data pemerintah AS. Namun di sisi lain, WikiLeaks juga menuai kritik keras atas dugaan membahayakan nyawa individu yang disebut dalam dokumen tersebut.
Reaksi Dunia dan Perburuan terhadap Assange
Respons terhadap WikiLeaks terbagi dua: satu sisi melihatnya sebagai pahlawan kebebasan informasi, sementara sisi lain menyebutnya ancaman terhadap keamanan nasional. Pemerintah AS meluncurkan penyelidikan hukum terhadap Julian Assange dan menuduhnya melanggar Espionage Act.
Assange sendiri berlindung di Kedutaan Besar Ekuador di London sejak 2012 hingga penangkapannya pada 2019. Selama masa perlindungannya, ia tetap menjadi sosok yang membelah opini publik. Bagi para pendukungnya, Assange adalah simbol perjuangan melawan tirani informasi. Salah satunya adalah Edward Snowden, whistleblower NSA, yang mengatakan, “Tanpa WikiLeaks, saya tidak akan berani membocorkan dokumen NSA. Mereka membuka jalan.”
Dukungan Tokoh Dunia terhadap Kebebasan Informasi
Berbagai tokoh dunia mendukung misi WikiLeaks, termasuk pemenang Nobel Perdamaian Desmond Tutu dan jurnalis investigatif John Pilger. Pilger bahkan mengatakan, “WikiLeaks adalah proyek jurnalisme paling penting di abad ke-21.”
Amnesty International dan Reporters Without Borders pun menyuarakan keprihatinan atas upaya kriminalisasi terhadap Assange. Mereka menilai tindakan terhadap pendiri WikiLeaks berpotensi membungkam jurnalisme investigatif di seluruh dunia.
Transformasi Media dan Implikasinya
WikiLeaks telah mengubah lanskap media global. Ia memaksa jurnalis, editor, dan pemerintah untuk memikirkan kembali batas antara keamanan nasional dan hak masyarakat untuk tahu. Dalam era pasca-WikiLeaks, media mainstream pun mulai mengadopsi praktik keamanan digital dan enkripsi dalam mengelola sumber informasi.
Namun, ada pula dampak negatif. Publik mulai kesulitan membedakan antara kebocoran yang bertanggung jawab dan disinformasi. Selain itu, keberpihakan WikiLeaks dalam beberapa momen politik, seperti pemilu AS 2016, menuai kritik bahwa situs ini mungkin telah keluar dari rel netralitas.
Kesimpulan: WikiLeaks sebagai Simbol dan Pelajaran
WikiLeaks bukan sekadar situs pembocor dokumen rahasia. Ia adalah manifestasi dari kegelisahan terhadap kekuasaan yang tak tersentuh dan ketertutupan institusi. Dalam segala kontroversinya, WikiLeaks menyalakan obor diskusi global tentang hak atas informasi, batas-batas jurnalisme, dan harga yang harus dibayar demi transparansi.
Bagi mahasiswa dan masyarakat umum, kisah WikiLeaks menyajikan pelajaran penting: bahwa kebebasan informasi bukanlah hak yang bisa diterima begitu saja, melainkan sesuatu yang harus terus diperjuangkan, bahkan ketika dunia memilih untuk membungkamnya.
Artikel ini disusun untuk keperluan edukasi dan pemahaman terhadap dinamika kebebasan pers dan peran whistleblower dalam masyarakat demokratis.
Be First to Comment