Kolom Opini

Seberbahaya Apa Logical Fallacy?
Dalam arus deras informasi yang membanjiri ruang digital dan percakapan publik saat ini, logical fallacy atau sesat pikir sering kali muncul tanpa disadari. Ia menyusup halus dalam debat politik, diskusi akademik, bahkan percakapan sehari-hari. Namun, apakah logical fallacy sekadar kesalahan berpikir biasa? Ataukah ia adalah ancaman tersembunyi bagi nalar sehat, etika diskusi, bahkan demokrasi itu sendiri?
Logical fallacy adalah bentuk kesalahan dalam berpikir atau berargumen yang tampaknya masuk akal namun cacat secara logis. Tidak semua orang mampu mengenalinya, apalagi menghindarinya. Lebih berbahaya lagi, sering kali logical fallacy digunakan dengan sengaja untuk memanipulasi opini, memenangi perdebatan, atau menyesatkan publik.
Salah satu bentuk sesat pikir yang paling sering ditemui adalah ad hominem, di mana seseorang menyerang karakter lawannya alih-alih membantah argumennya. Dalam debat politik, ini adalah senjata klasik. Alih-alih menjawab substansi, seorang politisi bisa berkata, “Tapi bukankah Anda dulu korup?” Serangan ini mungkin menggugah emosi publik, namun mengabaikan esensi argumen yang dibicarakan.
Bahaya logical fallacy tidak hanya terletak pada kelirunya logika, tetapi pada dampak sosial dan psikologisnya. Masyarakat yang terbiasa dengan pola pikir sesat akan perlahan kehilangan kepekaan terhadap argumen yang sehat. Diskusi berubah menjadi kompetisi retorika tanpa arah, dan kebenaran menjadi relatif tergantung siapa yang lebih vokal atau populer. Dalam konteks ini, logical fallacy adalah racun perlahan yang merusak akal sehat kolektif.
Psikolog sosial Jonathan Haidt pernah mengatakan, “Manusia bukanlah pencari kebenaran murni, melainkan pembenar dari intuisi mereka sendiri.” Di sinilah logical fallacy menemukan tempatnya. Ia mengeksploitasi bias-bias kognitif yang sudah ada dalam diri manusia: confirmation bias, ingroup bias, dan sebagainya. Ketika seseorang hanya mencari informasi yang mendukung keyakinannya, sesat pikir seperti straw man (membelokkan argumen lawan) atau false dilemma (seolah hanya ada dua pilihan) menjadi sangat menggoda untuk digunakan dan diterima.
Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang menyaring informasi berdasarkan preferensi pengguna. Dalam ekosistem semacam ini, argumen yang emosional dan penuh sesat pikir justru mendapat lebih banyak perhatian ketimbang argumen yang rasional dan bernuansa. Peneliti komunikasi Massimo Pigliucci menyebutkan bahwa “logical fallacy adalah alat propaganda yang paling efektif karena ia menyamarkan kepentingan di balik kedok logika.”
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi logical fallacy?
Pertama-tama, perlu ada kesadaran kolektif bahwa logical fallacy bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi ancaman epistemologis. Ia menodai proses pencarian kebenaran. Edukasi logika dasar seharusnya bukan hanya milik jurusan filsafat atau hukum, melainkan menjadi bagian dari kurikulum umum sejak dini. Mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu perlu dipersenjatai dengan kemampuan berpikir kritis yang tajam, agar tidak menjadi korban—atau pelaku—dari sesat pikir.
Kedua, perlu ada keteladanan dari figur publik dan tokoh intelektual untuk tidak terjebak dalam fallacy. Dalam debat terbuka atau forum ilmiah, keberanian untuk mengakui kesalahan dan menyusun argumen dengan jernih harus menjadi standar etika. Bukankah seperti yang dikatakan oleh Bertrand Russell, “Kualitas intelektual tertinggi bukanlah kepintaran, tetapi kerendahan hati dalam menghadapi kompleksitas kebenaran.”
Akhirnya, logical fallacy hanya bisa dilawan dengan dua hal: kesadaran dan ketekunan berpikir. Masyarakat yang sehat secara intelektual bukanlah yang selalu setuju dalam segala hal, tetapi yang mampu berdiskusi dengan nalar jernih tanpa saling menjatuhkan. Di tengah era pascakebenaran seperti sekarang, kemampuan untuk mengenali dan menghindari logical fallacy bukan lagi sekadar keahlian akademis, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan ruang diskusi dan demokrasi.
Logical fallacy memang tak selalu tampak seperti senjata. Tapi seperti pisau tajam yang diselipkan di balik senyum retoris, ia bisa melukai lebih dalam daripada yang kita sadari.
Be First to Comment