Kolom Opini
“tidaklah benar bahwa kebaikan hanya dapat muncul dari kebaikan dan kejahatan hanya muncul dari kejahatan, tetapi sering kali yang terjadi adalah kebalikannya. Siapa pun yang gagal melihat hal ini, sesungguhnya, adalah seorang bayi politik”. Max Weber

Kedaulatan Rakyat Terancam Jika Militer Menduduki Jabatan Sipil
Kedaulatan rakyat adalah prinsip fundamental dalam demokrasi. Ia menegaskan bahwa pemerintahan berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, ketika militer mulai menduduki jabatan-jabatan sipil, prinsip ini berada dalam ancaman serius. Sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil kerap berujung pada otoritarianisme, penyempitan ruang demokrasi, serta represi terhadap masyarakat sipil.
Militer dan Jabatan Sipil: Sebuah Anomali Demokrasi
Dalam demokrasi yang sehat, militer berfungsi sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai aktor politik. Militer yang menduduki jabatan sipil berisiko membawa pola pikir hierarkis, koersif, dan tidak terbiasa dengan dinamika demokrasi yang menuntut transparansi serta akuntabilitas.
Max Weber, sosiolog Jerman, menegaskan bahwa negara modern bergantung pada diferensiasi birokrasi yang jelas antara sipil dan militer. Ia memperingatkan bahwa kekuasaan yang terkonsentrasi pada aparat bersenjata bisa mengarah pada “military dictatorship” yang mencabut hak-hak sipil. Hal ini sejalan dengan pernyataan politolog Samuel Huntington dalam The Soldier and the State (1957), bahwa profesionalisme militer hanya dapat dijaga jika tetap terpisah dari politik.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara mengalami kemunduran demokrasi karena militer merambah ke sektor-sektor sipil. Fenomena ini kerap dibungkus dalam retorika stabilitas nasional, tetapi pada akhirnya menggerogoti kedaulatan rakyat.
Sejarah Kelam Keterlibatan Militer dalam Pemerintahan
Kasus-kasus di berbagai negara menunjukkan bahwa militer yang menguasai jabatan sipil sering kali menimbulkan dampak negatif bagi demokrasi. Beberapa contohnya adalah:
- Indonesia di Era Orde Baru (1966–1998)
Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami militerisasi politik dengan konsep Dwifungsi ABRI. Konsep ini memungkinkan militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan, tetapi juga mendominasi politik dan birokrasi sipil. Akibatnya, kritik terhadap pemerintah ditekan, oposisi dibungkam, dan kebijakan lebih berpihak pada kepentingan elit militer daripada rakyat. - Chile di Bawah Pinochet (1973–1990)
Setelah kudeta militer terhadap Salvador Allende, Jenderal Augusto Pinochet menjalankan pemerintahan dengan tangan besi. Ribuan aktivis politik diculik, dipenjara, atau dibunuh. Ekonomi liberal yang diterapkan memang menghasilkan pertumbuhan, tetapi dengan harga yang mahal: ketimpangan sosial yang ekstrem dan penindasan terhadap kelas pekerja. - Myanmar Pasca-Kudeta 2021
Setelah militer kembali merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi, Myanmar mengalami krisis demokrasi yang parah. Militer membubarkan parlemen, membatasi kebebasan pers, serta menekan demonstrasi rakyat dengan kekerasan. Transisi menuju demokrasi yang dirintis selama satu dekade hancur dalam hitungan bulan.
Dampak Negatif Militer dalam Jabatan Sipil
- Represi Politik dan Pembatasan Hak Sipil
Militer yang terbiasa dengan pendekatan koersif sering kali melihat kritik sebagai ancaman. Akibatnya, mereka cenderung menekan oposisi, membatasi kebebasan pers, dan mengekang gerakan sosial. - Korupsi dan Oligarki Militer
Ketika militer masuk ke ranah sipil, mereka memiliki akses luas terhadap anggaran negara dan sumber daya publik. Hal ini membuka peluang korupsi dan menciptakan oligarki militer yang mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri. - Militerisasi Kebijakan Publik
Jabatan sipil seharusnya diisi oleh individu dengan keahlian teknokratik yang memahami kebutuhan rakyat. Namun, jika dipegang oleh militer, kebijakan lebih sering berorientasi pada keamanan ketimbang kesejahteraan rakyat. - Erosi Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat
Demokrasi menuntut transparansi, partisipasi rakyat, dan supremasi hukum. Militer yang mendominasi jabatan sipil cenderung mengabaikan prinsip-prinsip ini, sehingga proses demokratis menjadi formalitas belaka.
Mengembalikan Supremasi Sipil
Untuk menjaga kedaulatan rakyat, beberapa langkah harus diambil:
- Reformasi Militer dan Pemisahan Jelas antara Sipil dan Militer
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas Jefferson, “When the military gets involved in civil government, liberty is lost.” Militer harus tetap pada tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan negara dan tidak merambah ke ranah politik serta administrasi sipil. - Penguatan Institusi Demokrasi
Parlemen, peradilan independen, dan masyarakat sipil harus diperkuat agar bisa menjadi penyeimbang terhadap kemungkinan ekspansi kekuatan militer dalam pemerintahan. - Pendidikan Politik dan Kesadaran Sipil
Rakyat harus sadar bahwa demokrasi sejati hanya bisa berjalan jika kekuasaan berada di tangan sipil. Pendidikan politik yang menanamkan nilai-nilai demokrasi menjadi kunci dalam mencegah militerisasi politik. - Pengawasan Ketat terhadap Anggaran Militer
Transparansi dalam penggunaan anggaran militer harus dijamin untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Militer tidak boleh menjadi entitas yang berdiri di atas hukum.
Kesimpulan
Sejarah membuktikan bahwa ketika militer mengambil alih jabatan sipil, demokrasi melemah dan kedaulatan rakyat terancam. Pemisahan yang jelas antara ranah sipil dan militer adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Seperti yang dikatakan oleh politolog Alfred Stepan, “No modern democracy can function without the effective subordination of the military to civilian control.”
Kedaulatan rakyat adalah milik rakyat, bukan milik militer. Jika kita tidak waspada, ancaman militerisasi politik dapat mereduksi demokrasi menjadi sekadar ilusi, di mana rakyat hanya menjadi penonton dalam panggung kekuasaan yang dikendalikan oleh kekuatan bersenjata.
Be First to Comment