Feature
Pameran foto Fragmen dari yang Utuh membuka percakapan hangat tentang kebudayaan, manusia, dan modernitas di pelataran Sampun Nusantara, Surabaya. Dalam ruang alami beraroma tanah dan bambu, tiga fotografer menafsir akar kebudayaan Indonesia melalui lensa yang intim dan reflektif.
Di Antara Sekam dan Cahaya: Membaca Kebudayaan Lewat Pameran Foto “Fragmen dari yang Utuh”
Malam itu, 25 Oktober 2025, pelataran Sampun Nusantara di Jalan Rungkut Menanggal, Surabaya, berubah menjadi ruang yang hidup. Bukan galeri putih yang steril dan sunyi, melainkan halaman yang terbuka beralaskan rumput hijau, berdinding bambu, dengan aroma tanah basah dan sekam padi yang menebar pelan di udara. Cahaya lampu pijar menggantung rendah, memantulkan warna hangat di wajah-wajah yang datang. Sekitar seratus orang berdiri, duduk, dan saling berbincang di bawah langit malam: mahasiswa, seniman, jurnalis, pengamat seni, dan masyarakat umum yang datang untuk satu hal melihat fragmen kebudayaan yang difoto, dihidupkan kembali, dan dipertanyakan ulang.

Pameran bertajuk “Fragmen dari yang Utuh” ini diselenggarakan oleh Cakrawalakata Kreatif dan Literasi Movement bekerja sama dengan Sekolah Alam Petani Muda Nusantara. Ia bukan sekadar peristiwa seni, melainkan sebuah pernyataan: bahwa kebudayaan adalah tubuh yang masih bernapas, bukan artefak yang mati di etalase sejarah.
Sambutan pembuka disampaikan oleh Evan Binsar Siahaan, pendiri Sampun Nusantara, yang dengan hangat mengapresiasi keberanian para fotografer lintas daerah yang menampilkan kearifan lokal dalam bingkai yang jujur. “Karya ini mengingatkan kita bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah tempat ia berpijak,” ujarnya. Setelah itu, Rizal Ghoib dari Cakrawalakata memantik ruang dengan orasi budaya, mengajak para hadirin untuk melihat keterhubungan antara manusia, lingkungan, dan budaya lokal sebagai bagian dari kesadaran ekologis dan spiritual yang kini kian menipis.
Suasana malam itu terasa seperti kembali ke masa ketika perbincangan tentang kebudayaan belum terasing dari kehidupan sehari-hari. Kopi hangat berpindah tangan, tawa dan percakapan pelan terdengar di antara cahaya lampu minyak dan bambu. Namun di tengah keakraban itu, terdapat sesuatu yang lebih mendalam: sebuah upaya membaca ulang manusia melalui kebudayaannya, melalui keseharian yang sering terlewatkan.
Tiga fotografer menjadi tulang punggung narasi visual pameran ini. Irza Saputra dari Yogyakarta menampilkan potret kehidupan agraris di Sukabumi sawah berundak, tangan-tangan yang menanam, dan wajah-wajah yang menua di bawah matahari, seolah menjadi puisi tentang kesetiaan manusia pada tanah. Fiki Notomato dari Bali membawa dua dunia sekaligus: Mentawai dan Wae Rebo, dua lanskap yang memperlihatkan spiritualitas dan kesederhanaan yang tetap berdiri tegak di tengah derasnya modernitas. Sementara M. Ilham Faizuddin dari Surabaya merekam kehidupan masyarakat Bali dengan pendekatan yang tenang dan intim: keseharian yang ritualistik, di mana kehidupan dan kepercayaan berpadu tanpa batas.
Meski berasal dari tiga wilayah berbeda, karya mereka berkelindan dalam satu benang merah yang sama kebudayaan sebagai identitas dan kemegahan bangsa. Setiap foto menjadi fragmen kecil dari keutuhan yang lebih besar: sebuah ingatan kolektif tentang siapa kita sebenarnya sebelum modernitas mengubah cara kita melihat, bekerja, dan merasa.

Setelah pameran dibuka, sesi Artis Talk menjadi momen reflektif yang tak kalah hangat. Di bawah langit malam yang masih berembun, tiga pembicara duduk bersisian di depan para pengunjung: Fiki Notomato, Irza Saputra, dan Muni Moon, seorang jurnalis dari Cakrawalakata yang telah lama menulis tentang kebudayaan dan gerakan literasi. Diskusi ini dimoderatori oleh Zenda, yang memandu percakapan dengan tenang namun tajam.
Fiki bercerita bagaimana ia menemukan Wae Rebo bukan sekadar sebagai destinasi eksotis, tetapi sebagai lanskap spiritual. “Kamera seringkali gagal menangkap napas manusia di dalam foto,” katanya. “Tapi saya berusaha agar setiap gambar punya rasa seperti doa yang diam.” Irza menimpali dengan pengalamannya di Sukabumi, tentang bagaimana bertani adalah laku hidup yang nyaris suci. “Setiap petani itu filsuf tanpa buku. Mereka menanam dengan keyakinan, bukan perhitungan.”
Sementara Muni Moon melihat fotografi bukan hanya sebagai medium visual, tetapi juga alat membaca masyarakat. Ia menyoroti bagaimana foto bisa menjadi ruang refleksi untuk menggugat cara kita memandang modernitas. “Kita terlalu sibuk mengarsipkan kemajuan, tapi lupa mengingat akar. Foto-foto ini justru menjadi arsip balik arsip tentang yang terlupakan,” ujarnya, disambut anggukan pengunjung.
Percakapan malam itu mengalir seperti sungai kecil di tengah hutan: jernih, pelan, dan penuh makna. Sesekali, suara jangkrik memecah keheningan di antara jeda kata. Pengunjung tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut menjadi bagian dari ruang wacana yang hidup. Ada yang mendengarkan dengan khusyuk, ada yang memotret dari jauh, ada pula yang berbincang langsung dengan para fotografer setelah sesi selesai, membicarakan hal-hal yang tidak tertulis dalam label karya, seperti perasaan di balik sebuah bidikan.

Ruang terbuka yang dipilih untuk pameran ini menjadi elemen penting dalam keseluruhan pengalaman. Di sini, semiotika ruang bekerja secara subtil: bambu, kayu, dan aroma tanah basah bukan sekadar dekorasi, tetapi simbol keterhubungan manusia dengan alamnya. Pameran ini tidak hanya menampilkan karya, tetapi juga mengalami karya. Ia menggugah kesadaran multisensori pengunjung tidak hanya melihat, tapi juga mencium, merasakan, bahkan mengingat.
Dalam konteks itu, “Fragmen dari yang Utuh” menghadirkan kritik lembut terhadap modernitas yang eksploitatif. Ia menolak jarak antara seni dan kehidupan, antara ruang pamer dan realitas sosial. Setiap foto adalah bukti bahwa kebudayaan bukan hiasan, melainkan fondasi kehidupan bersama. Bahwa yang kita sebut kemajuan tak selalu berarti keterlepasan dari akar, melainkan seharusnya kemampuan untuk menumbuhkan akar itu di tanah yang baru.
Seorang pengunjung muda, mahasiswa fotografi dari Surabaya, sempat berkomentar pelan di tengah kerumunan, “Rasanya kayak pulang ke kampung, tapi lewat gambar.” Ucapan sederhana itu mungkin paling tepat menggambarkan semangat pameran ini: bukan nostalgia, tapi kesadaran. Bahwa di tengah dunia yang kian cepat dan bising, kebudayaan masih menyimpan ruang tenang tempat manusia bisa mengenali dirinya.
Malam itu berakhir tanpa seremoni yang berlebihan. Lampu-lampu bambu mulai meredup, kopi tersisa tinggal ampasnya, tapi percakapan masih menggantung di udara. Di antara sekam dan cahaya, pameran ini berhasil menghadirkan sesuatu yang jarang: keintiman antara manusia, karya, dan kebudayaannya sendiri.
Sebuah fragmen kecil dari keutuhan yang terus berdenyut di dalam diri bangsa ini.







Be First to Comment