Press "Enter" to skip to content

“Rek” Joko Porong: Semangat Kolektif di Balik Sukses Panggung Musik Artsubs

Feature | Fotografer : Salsa Owe

Kisah di balik panggung “Rek” karya Joko Porong. Perpaduan gamelan, kru, dan pemain yang bersatu dalam semangat kolektif.


“Rek”: Napas Kolektif yang Menghidupkan Panggung

Prolog: Hening yang Menyimpan Energi

Panggung itu gelap. Dari deretan kursi penonton yang masih kosong, hanya tampak kilau samar logam gong di ujung kiri panggung, seperti bulan yang bersembunyi di balik kabut. Lampu-lampu rig di langit-langit menggantung tenang, menunggu aba-aba untuk hidup.

Di permukaan lantai kayu yang memantulkan sedikit cahaya, gendang-gendang dengan ukuran dan bentuk berbeda berbaris. Sebagian rebana bersandar di kursi, sementara bilah-bilah saron tersusun rapi, seolah siap berbicara lewat tangan yang tepat. Udara di ruang itu membawa aroma khas panggung—perpaduan antara kayu tua, kain tirai, dan sedikit debu logam instrumen.

Kesunyian ini bukan kekosongan. Ia seperti tarikan napas panjang sebelum lompatan. Dan di balik tirai, di lorong sempit belakang panggung, detak jantung puluhan orang mulai selaras.


Babak 1: Mengatur Panggung, Menyatukan Irama

crew panggung mempersiapkan panggung

Beberapa jam sebelumnya, suasana di panggung berbeda. Kru berbaju hitam dan merah sibuk keluar-masuk, membawa gendang besar, gong, dan perangkat gamelan. Di foto yang terekam sore itu, sembilan orang berdiri mengelilingi alat-alat musik. Sebagian mengangkat, sebagian meletakkan, sebagian menunjuk ke posisi yang harus diubah.

Tak ada teriakan. Komunikasi mereka singkat, sering hanya isyarat tangan atau anggukan kepala. Namun gerak mereka terkoordinasi, seolah sudah menghafal koreografi tak tertulis: satu menggeser gong, yang lain memutar mikrofon, sementara dua orang di ujung sana membungkuk mengatur kabel agar tidak melintang di jalur pemain.

Joko Porong memberi arahan pada crew panggung

Joko Porong, sang komposer dan penggerak utama, berdiri di tengah. Kaos longgar dan celana santai membuatnya tampak tak mencolok, tapi sorot matanya tak pernah lepas dari detail panggung. Di sebuah momen yang terekam kamera, ia tampak menunduk sedikit ke depan, berbicara kepada seorang kru muda yang mengenakan kaos merah dengan tulisan “STAFF”. Tangannya terangkat, jari-jari terbuka, mengisyaratkan sesuatu—bukan perintah keras, melainkan ajakan untuk memahami logika ruang.

Di belakang mereka, gong besar sudah berdiri tegak. Seorang pria berkaos hitam menatap instrumen itu seperti memastikan ia siap untuk malam nanti.


Babak 2: Latihan—Menyulam Kepercayaan

Di bagian lain ruangan, para pemain mulai berkumpul. Sebagian sudah duduk di kursi plastik rendah, memegang stik saron, sementara yang lain mengatur posisi duduk di depan gendang. Di kursi penonton, beberapa orang menyimak sambil memegang buku catatan atau telepon genggam.

Latihan dimulai dengan suara tunggal—ketukan pendek gendang yang dalam. Satu, dua, tiga… lalu menyusul nada gamelan, gong, dan bas. Ada yang terlihat menutup mata sejenak, merasakan tempo sebelum jarinya menyentuh bilah logam.

“Pelan dulu,” suara Joko terdengar rendah tapi jelas. Ia berjalan pelan di antara pemain, kadang jongkok, kadang berdiri tegak sambil memperhatikan gerakan tangan.

Dalam foto yang diambil dari sisi kanan panggung, tampak jelas lingkaran pemain gamelan yang fokus. Wajah mereka serius, tubuh condong sedikit ke depan, seolah siap menangkap sinyal sekecil apa pun dari rekan di sebelah. Seorang perempuan memegang mikrofon di pangkuannya, menunggu aba-aba masuk.

Latihan bukan hanya soal mengulang nada. Di sini, mereka sedang membangun kepercayaan. Bahwa setiap orang akan menjaga ritme, bahwa setiap jeda akan diisi dengan rasa yang tepat. Bahwa ketika malam nanti tiba, tidak ada satu pun yang berjalan sendirian.


Babak 3: Menyala di Balik Gelap

Di sisi lain gedung, suasana jauh dari keramaian. Di ruang kontrol audio, seorang pria berambut kribo duduk di kursi tinggi, tangannya mengatur panel pencampur suara yang penuh lampu kecil. Di belakangnya, deretan penonton sudah mulai mengisi kursi merah. Ia tak menoleh. Matanya terpaku pada layar dan lampu indikator, telinganya menangkap setiap nuansa suara dari panggung.

Dekat pintu, dua kru lain berbaju merah berdiri di depan panel kontrol cahaya. Cahaya merah dari tombol-tombol memantul di wajah mereka, menciptakan kontras dramatis di tengah ruangan gelap. Jari mereka bergerak cepat—sesekali menekan tombol, sesekali memutar knob pelan.

Di dunia pertunjukan, mereka inilah “penyihir” yang bekerja tanpa disorot. Setiap kilau lampu dan kejernihan suara yang dirasakan penonton adalah hasil dari kerja hening di sudut gelap ini.


Babak 4: Gladi Bersih—Mencoba Arus

Sore itu, gladi bersih dimulai. Semua instrumen di panggung sudah di posisi final. Lampu-lampu mencoba berbagai warna: hijau yang teduh, merah yang tegas, putih yang menajamkan detail.

Para pemain berdiri di posisi masing-masing. Kelompok rebana berdiri di sisi kiri panggung, kaki telanjang menapak lantai kayu, mengenakan kain batik yang dililit di pinggang. Di tengah, deretan gamelan membentuk benteng nada, dengan pemain bas duduk sedikit di belakang. Di kanan panggung, deretan gendang berjejer seperti prajurit siap tempur.

Musik mulai mengalun. Dari kursi penonton, suara rebana terdengar seperti gelombang yang menghantam lembut, sementara gendang memompa ritme di bawahnya. Nada saron dan gong berpadu, menciptakan lapisan bunyi yang kompleks.

Joko Porong duduk di barisan depan penonton, matanya tak lepas dari panggung. Sesekali ia mengangguk, kadang mengangkat tangan memberi tanda. Ia membiarkan para pemain merasakan aliran mereka sendiri, tapi tetap siap memberi arahan jika arus mulai menyimpang.


Babak 5: Malam yang Menyatu

Lampu-lampu ruangan meredup. Sorot putih tunggal jatuh di panggung yang kini sunyi. Penonton berhenti berbicara. Dari kejauhan, terdengar ketukan gendang—pelan, lalu sedikit lebih cepat.

Rebana menyusul, menambah lapisan ritme. Lalu gamelan masuk, membentuk harmoni yang bergerak seperti arus sungai. Bas elektrik mengisi ruang di bawah, sementara gong memberi penegasan di setiap pergantian babak musik.

Di atas panggung, tak ada yang menjadi pusat tunggal. Semua saling mendengar. Penabuh rebana memiringkan kepala ke arah gendang, penabuh gamelan menyesuaikan tempo dari bas, dan sesekali satu pemain memulai improvisasi kecil yang langsung diikuti oleh seluruh kelompok.

Di belakang ruangan, operator audio memutar sedikit tuas untuk menonjolkan suara rebana. Kru lampu memindahkan sorot ke sisi kanan, menyoroti deretan gendang yang sedang membangun klimaks.


Babak 6: Momen Tanpa Kata

Di tengah salah satu lagu, sesuatu yang tak terencana terjadi. Seorang penabuh gamelan mengubah pola ketukannya, memberikan aksen yang tidak ada di latihan. Dalam hitungan detik, semua pemain mengikuti. Tidak ada instruksi verbal—hanya tatapan mata, anggukan kecil, dan rasa percaya yang menular.

Inilah momen yang menjadi inti dari semangat kolektif: kemampuan untuk bergerak bersama, spontan, tanpa takut keluar dari naskah. Karena mereka tahu, rekan-rekan mereka akan menyesuaikan.

Bagi penonton, ini hanyalah bagian dari pertunjukan. Tapi bagi mereka yang di panggung, inilah bukti bahwa perjalanan latihan panjang telah membangun sesuatu yang lebih dari sekadar koordinasi: mereka telah menjadi satu organisme.


Babak 7: Penutup dan Penghormatan

Lagu terakhir membawa semua instrumen ke puncak. Suara gamelan, gendang, rebana, gong, dan bas memenuhi ruangan seperti gelombang besar yang menutup pantai. Penonton terpaku, lalu menyambut dengan tepuk tangan panjang ketika nada terakhir mereda.

Tirai menutup. Tapi kerja belum selesai. Kru kembali ke panggung, mulai mengangkat instrumen, menggulung kabel, mematikan lampu. Pemain membantu membereskan alat mereka sendiri, saling menyapa sambil tertawa lega.

Tak ada satu pun dari mereka yang berdiri di atas panggung untuk menerima tepuk tangan sendirian. Karena semua tahu, pertunjukan ini adalah hasil dari kerja bersama—dari tangan-tangan yang terlihat dan yang tersembunyi.


Epilog: Panggung Sebagai Ekosistem

Rek karya Joko Porong membuktikan satu hal: panggung bukanlah milik individu. Ia adalah ekosistem di mana setiap bagian, sekecil apa pun, menentukan hidupnya sebuah karya.

Tanpa kru yang mengangkat gendang, nada takkan lahir. Tanpa operator audio, harmoni takkan sampai ke telinga penonton. Tanpa penata cahaya, emosi takkan tersampaikan penuh. Dan tanpa pemain yang mau membuka diri pada improvisasi, Rek takkan hidup seperti malam itu.

Di dunia seni pertunjukan, ada ungkapan: “Semua orang adalah bagian dari orkestra.” Dalam Rek, orkestra itu melampaui musik—ia mencakup setiap tangan yang mengikat kabel, setiap mata yang mengawasi detail, dan setiap hati yang berkomitmen pada karya bersama.


Joko Porong melakoni sesi wawancara

Pertunjukan musik “Rek” karya Joko Porong ini digelar pada Sabtu, 9 Agustus 2025 di Balai Pemuda Surabaya, sebagai bagian dari rangkaian acara pameran seni Artsubs. Dalam konteks festival ini, “Rek” hadir bukan sekadar sebagai pertunjukan musik, melainkan sebagai perwujudan dialog lintas medium dan lintas komunitas yang menjadi roh Artsubs. Balai Pemuda—dengan sejarahnya sebagai ruang pertemuan seniman Surabaya—memberikan panggung yang ideal bagi karya yang mengangkat nilai egaliter budaya Arek ini, sehingga pesan kebersamaan dan kolaborasi yang dibawa “Rek” menyatu dengan semangat kolektif perayaan seni yang berlangsung sepanjang acara.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *