Esai | oleh: CHALID SYAMY RAMADHAN
Pelajari sejarah westernisasi dari masa kolonialisme hingga abad modern. Artikel ini membahas perjalanan bangsa Eropa, misi Gold, Gospel & Glory, serta dampaknya terhadap perubahan budaya, bahasa, dan struktur sosial di berbagai belahan dunia.
Westernisasi: Sejarah, Dampak Kolonialisme, dan Transformasi Budaya Dunia
Studi peradaban manusia merupakan suatu proses penting dalam memahami karakteristik utuh dari jiwa dan kebudayaan sebuah bangsa. Para ilmuwan modern kerap memanggilnya dengan penggunaan istilah Studi “Antropologi Manusia”. Berangkat dari studi semacam itu, manusia di kemudian hari dapat memahami bagaimana orang-orang Eropa yang berkulit putih itu bertahan hidup di saat kabut salju menerpa negeri-negeri mereka. Studi peradaban ini juga melahirkan suatu penjelasan yang eksplisit yang mendorong pelayaran besar-besaran untuk mencari sumber daya alternatif di benua yang berbeda. Studi Antropologi juga menjelaskan bagaimana orang-orang arab yang menghabiskan hampir separuh dari hidupnya untuk mengembara ke barat dan utara demi mencari penghidupan. Tampaknya bantaran negeri yang dibangun di tengah hamparan padang pasir yang luas bukanlah alternatif yang memadai untuk menopang kehidupan orang-orang ini, tercatat bahwa peradaban orang-orang Arab sedikit banyaknya ditanggung oleh aktivitas perdagangan dan koneksi lintas dagang dengan negeri-negeri tetangganya. Begitu juga orang-orang yang berkulit hitam yang mendiami benua Afrika yang sangat kaya dan subur, orang-orang ini kelak dikenal dengan sebutan Negro oleh orang-orang Amerika Selatan pada saat mereka pertama kali menginjakkan kaki di benua Amerika yang didorong oleh aktifitas perbudakan pada pembukaan abad 16. Sebutan “Negro” yang disematkan kepada orang-orang ini tentunya bersumber dari bahasa Spanyol yang ber artikan “hitam”. Mayoritas penduduk Amerika Selatan berbicara bahasa latin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selama berabad-abad Bangsa Eropa seperti Spanyol dan Portugis telah berhasil mendirikan koloni-koloni penting di wilayah Amerika selatan guna mendukung dan menopang ekonomi dan kehidupan orang-orang latin di negeri Induk mereka di benua biru.
Kembali lagi bila pembaca pernah mendengarkan istilah yang mungkin tak asing diperdengarkan dalam studi sejarah, yaitu “Gold, Gospel & Glory”. Sebuah ungkapan yang begitu ambisius dari proyek pelayaran besar-besaran bangsa Eropa ke seluruh dunia. Jumlah pengembara kulit putih ini terus mengalami peningkatan selama bertahun-tahun berikutnya setelah keberhasilan pelayaran orang-orang spanyol dan portugis ke negeri Timur Jauh. Orang-orang Inggris mulai membuka pemukiman di ujung tanduk benua Afrika di abad 16 wilayah yang di kemudian hari melahirkan kota Cape Town dan peradaban Afrika Selatan. Orang-orang Belanda juga berhasil menjatuhkan jangkar nya di pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di seluruh deretan kepulauan Hindia. Para pendatang ini berhasil merebut kota Jayakarta dan menyulap nya sebagai kota modern ala eropa yang dikenal dengan nama Batavia “kota Eropa di Kepulauan Timur”. Para pelayar portugal juga berhasil menguasai pulau Timor Timur yang terletak berseberangan dengan kekuasaan Belanda yang bercokol di wilayah Kupang. Orang-orang latin Spanyol juga berkuasa penuh di wilayah Filipina dan sering terlibat pertempuran dengan orang-orang Islam yang memiliki dominasi kekuasaan di wilayah utara kepulauan Borneo. Orang-orang Latin Spanyol tidak hanya harus bertahan dari gempuran kerajaan-kerajaan lokal yang telah lama berkuasa di sana dan berupaya merebut kepulauan Luzon, mereka juga harus menghadapi lawan dari sebangsa mereka yaitu Armada Belanda yang kian mendominasi lautan Timur di penghujung abad 17. Namun Spanyol dan Portugis selaku pendatang yang lebih dahulu mendominasi lautan di Asia tenggara juga berhasil mempertahankan koloni-koloni mereka setelah meningkatnya persaingan di lautan dengan armada Inggris dan Belanda.
Bila kita bercerita panjang terkait benturan peradaban, maka kebudayaan orang-orang Eropa yang dibawa oleh para pelayar tersebut adalah titik awal narasi westernisasi tercipta. Di Afrika Selatan dan koloni-koloni Prancis misalnya, para penduduk mulai berlahan mengadopsi pandangan bahwa kemampuan berbahasa Inggris atau Francis adalah nilai standar dari modernitas. Masyarakat Timor Timur juga menetapkan standar baru yaitu kemampuan berbahasa Portugis adalah bentuk dari modernitas, begitu juga bahasa Inggris di India, Spanyol di Amerika Selatan, Belanda di kepulauan Hindia dan lain sebagainya. Orang-orang pribumi ini kemudian mulai belajar menggunakan dan memahami bahasa-bahasa kolonial melalui proses pengajaran-pengajaran di gereja yang sering kali diutus langsung dari Eropa guna mengemban fungsi dan peranan Gospel sebagai misi ketuhanan. Mayoritas warga kulit hitam di Afrika Selatan mulai memahami bahasa Inggris setelah menghadiri pengajaran-pengajaran gospel di tanah kelahiran mereka. Peradaban-peradaban Eropa juga mulai membawa standar ethic baru yang cukup memuramkan nilai-nilai kebudayaan yang telah lama ada di wilayah jajahan mereka. Universitas-universitas Eropa berperan penting di dalam memberikan pandangan baru bagi para penduduk lokal yang kelak dengan itu pula para kaum terpelajar ini mulai menghembuskan sikap kritis dan perlawanan terhadap pemerintah Kolonial.
Mari kita melihat bagaimana westernisasi berhasil menjadikan nilai-nilai yang dimilikinya sebagai standar dari peradaban modern orang-orang di berbagai belahan dunia. Menurut Prof Estelle B. Fredman, dahulu di Afrika, kaum perempuan mengurusi berbagai macam dokumen kepemilikan tanah dan menguasainya. Sementara laki-laki hanya mengerjakan pekerjaan berat dan kasar di ladang-ladang dan perkebunan yang dimiliki atas nama istri-istri mereka. Di saat pemerintah kolonial mulai berdiri dan menggantikan otoritas-otoritas adat yang mereka miliki, peran perempuan tergantikan. Orang Eropa lebih memilih laki-laki untuk menguasai lahan-lahan dan otoritas kepemilikan yang kuat di hadapan pengadilan kolonial. Sekejap pemerintah kolonial berhasil menggantikan dominasi adat yang telah lama dipegang oleh kaum perempuan dan mereduksi nya secara berlahan. Di kepulauan Hindia, penggunaan tulisan sanskerta dan arab melayu mulai tergantikan. Pemerintah Belanda menggantikannya dengan alphabetical latin yang kelak dikenal hingga saat ini. Penulisan ini diharapkan akan mempermudah urusan administrasi pemerintah kolonial Hindia. Mereka juga mulai mereduksi peranan perempuan-perempuan di tataran tradisi nusantara yang menuju pada dominasi mutlak kaum laki-laki. Di pelabuhan-pelabuhan Spanyol yang didirikan oleh Ferdinan Magellan di Filipina, terdapat selembaran kertas yang berbunyi “para Pekerja laki-laki lebih diutamakan, perempuan diperlukan untuk kebutuhan sex dan jasa Prostitusi”. Di kepulauan Timor Timur Portugis, pemerintah telah memperkenalkan budaya baru yaitu standar pola hidup orang Eropa yang begitu ketat pada pribuminya. Kebiasaan tersebut seperti berdansa, menikmati alkohol, tidak boleh makan tanpa sendok atau duduk di lantai. Bahkan yang lebih mengesankan lagi adalah penduduk yang tinggal di wilayah dengan iklim tropis juga mengenakan baju tebal ala Eropa yang tentunya hanya cocok untuk menghadapi musim dingin.
Tulisan ini berupa menggambarkan bahwa pada dasarnya standar kemajuan dan modernisasi yang diadopsi oleh orang-orang hingga menuju abad 20 merupakan nilai dan stigma dari warisan kolonial. Orang-orang pribumi mulai melantarkan standar dan nilai-nilai yang mereka miliki guna mengadopsi pandangan Eropa yang dicekoki selama berabad-abad lamanya. Jadi titik modernisasi dan standar kemajuan berdasarkan kepada kuasa yang dimiliki suatu peradaban yang kuat setelah berhasil berbenturan dengan peradaban lain. Benturan inilah yang dikemudikan hari disebut sebagai standar absolute yang diadopsi secara luas diseluruh negara di dunia. Di Era sebelum kolonialisme dan pelayaran Eropa muncul sebagai trend aktifitas global, dinasti Tiongkok, Korea, dan Jepang telah mengadopsi Budhisme aliran Mahayana dan nilai-nilai pengajarannya yang bersumber dari kekayaan peradaban di dataran India sebagai standar kemajuan. Begitu juga di-era pasca peristiwa musim semi-Arab, nilai-nilai demokratik barat mulai mendominasi pemikiran-pemikiran kaum muda Afrika Utara dan Arab berlahan menggeser rezim otoriter yang telah lama ada dan diakui di dalam catatan sejarah peradaban orang-orang tersebut selama berabad-abad lamanya. Maka, westernisasi mengambil tempat sebagai standar modernisme setelah benturan kebudayaan dan peradaban yang cukup lama dan melahirkan konsep itu keluar sebagai pemenangnya.
Be First to Comment