Opini
Kita hidup di era di mana hak dasar dijual. Dari air, pendidikan, hingga udara—kapitalisme menguasai setiap napas dan langkah hidup kita.
Kapitalisme Modern: Hidup di Dunia yang Semua Harus Dibayar
Kita hidup di sebuah era di mana udara masih gratis, tapi jangan terlalu cepat lega. Jika ada cara untuk mengukur setiap helaan napas dan menaruh label harga padanya, percayalah, akan selalu ada orang atau perusahaan yang menganggap itu ide brilian. Kita berada di zaman di mana untuk mandi saja kita harus membayar. Jika kita tidak membayarnya, pasti ada orang lain yang membayarnya untuk kita—dan itu bukan berarti kita bebas, melainkan kita hanya mengganti jeratan satu bentuk utang dengan bentuk lainnya. Semua yang pernah menjadi hak dasar perlahan berubah menjadi komoditas yang dijual di etalase dunia modern. Sebuah ironi yang disulap menjadi wajar, dibungkus dengan bahasa manis tentang “efisiensi,” “kebebasan memilih,” atau “kenyamanan gaya hidup.”
Dulu, air adalah hak bersama. Mengalir di sungai, jatuh dari langit, meresap di tanah, dan semua orang berhak mengambilnya untuk minum, mencuci, atau mandi. Tapi kini, coba tengok: air mengalir melewati meteran, masuk ke pipa yang diawasi, diatur, dan dihitung liter demi liter. Hak atas air tidak lagi hanya soal kebutuhan, tapi soal kemampuan membayar. Kita mungkin sudah terbiasa dengan itu, saking terbiasanya hingga tidak lagi terasa aneh. Kita lupa bahwa ini adalah bukti telanjang dari bagaimana kapitalisme menyusup sampai ke titik paling dasar kehidupan manusia—ke dalam tubuh kita, ke dalam darah kita.
Sistem ini punya logika yang sederhana tapi kejam: jika ada sesuatu yang dibutuhkan banyak orang, ia harus menjadi sumber keuntungan. Pendidikan? Dijual. Kesehatan? Dijual. Perumahan? Dijual. Bahkan perhatian kita—yang dulunya cuma “fokus”—sekarang dijual lewat iklan yang menyelinap di layar ponsel setiap jam. Tidak ada lagi ruang yang benar-benar bebas dari label harga. Hidup kita adalah marketplace raksasa, dan kita adalah produk sekaligus pembeli. Seperti boneka yang harus membeli tali sendiri untuk digerakkan.
Apa yang membuat keadaan ini terasa lebih keji adalah bagaimana semua ini dibungkus dengan narasi pragmatis. “Kalau tidak mau antre, bayar lebih.” “Kalau mau kualitas, bayar lebih.” “Kalau mau cepat, bayar lebih.” Dari semua celah kecil dalam keseharian kita, muncul layanan berbayar yang menjanjikan kemudahan—sementara di baliknya, ketidaksetaraan tumbuh subur. Kita diminta percaya bahwa ini soal pilihan personal. Padahal pilihan itu hanyalah ilusi ketika semua jalan gratis sudah dipalang dengan pagar tinggi, papan peringatan, dan tiket masuk.
Kapitalisme modern bukan hanya menguasai pabrik atau toko. Ia menguasai air, tanah, udara, data, waktu, bahkan relasi sosial kita. Teman jadi klien, keluarga jadi pasar potensial, percakapan jadi peluang monetisasi. Jika ada hubungan antarmanusia yang tidak menghasilkan uang, sistem ini akan menganggapnya “potensi yang belum digarap.” Dan seperti investor yang lapar dividen, ia akan mencari cara untuk mengubahnya jadi aliran kas. Bukan kebetulan bahwa media sosial yang katanya “menghubungkan” orang justru menjadi pabrik raksasa untuk memanen data pribadi kita, menjualnya ke pengiklan, lalu menjejalkan lebih banyak barang dan ide ke dalam kepala kita.
Di balik semua ini ada ide besar yang disebarkan dengan disiplin militer: bahwa hidup adalah kompetisi, dan kompetisi itu sehat. Bahwa yang paling layak bertahan adalah yang paling kuat, paling pintar, atau paling kaya. Seolah kemiskinan adalah tanda kegagalan personal, bukan hasil dari sistem yang sengaja membangun pagar dan jebakan di jalur yang sama. Kita dididik untuk merasa malu kalau tidak bisa membayar, bukan untuk marah kepada sistem yang membuat membayar menjadi satu-satunya jalan. Inilah mengapa kalimat sederhana seperti “untuk mandi saja kita harus membayar” adalah potret yang telanjang dari struktur kekuasaan dunia: ia menunjukkan bahwa kita telah dikondisikan untuk menerima ketergantungan sebagai kewajaran.
Namun, yang lebih mengerikan adalah pragmatisme yang menumbuh di dalamnya. Pragmatisme ini bukan sekadar “praktis,” tapi sebuah filosofi hidup yang menyerah pada status quo. Kita bilang, “Ah, begitulah dunia sekarang.” Kita rela menukar kebebasan kecil dengan kenyamanan instan. Daripada mempertanyakan kenapa harus bayar untuk air, kita pilih berlangganan air galon atau bayar token PDAM tepat waktu. Daripada melawan ketidakadilan pendidikan, kita pilih ikut kursus mahal demi “menang” dalam kompetisi kerja. Daripada bertanya kenapa rumah begitu mahal, kita pasrah menanggung cicilan 30 tahun, karena “ya semua orang juga begitu.”
Di titik ini, kapitalisme tidak perlu lagi memaksa. Ia hanya perlu menunggu. Menunggu kita lelah bertanya, menunggu kita terbiasa, menunggu kita mengatur hidup di dalam pagar yang dibangunnya. Pagar itu bahkan diberi cat indah dan tulisan motivasi: Work hard, dream big. Kita membacanya setiap hari sambil melupakan bahwa tanah di balik pagar itu sebenarnya milik kita, sebelum diambil dan dijual kembali pada kita.
Beberapa orang akan bilang, “Kalau mau gratis, kembali saja ke zaman batu.” Ini adalah argumen favorit mereka yang sudah terlalu dalam menghirup udara pragmatisme berbayar. Mereka lupa bahwa kemajuan tidak harus identik dengan komersialisasi. Kita bisa punya teknologi, layanan modern, dan sistem yang efisien tanpa menjadikan semua aspek hidup sebagai lahan bisnis. Tapi itu hanya mungkin kalau kita mau melihat bahwa masalahnya bukan soal mau bayar atau tidak, melainkan soal hak dan akses yang dirampas.
Realitasnya, kapitalisme modern adalah mesin penghisap yang bekerja 24 jam. Ia tidak hanya menyedot uang kita, tapi juga energi, waktu, dan bahkan imajinasi kita tentang dunia yang lebih baik. Ia mengajarkan kita untuk memikirkan segalanya dalam angka dan ROI. Hubungan, waktu luang, bahkan hobi diukur dari seberapa banyak uang yang bisa dihasilkan darinya. Dan saat kita tidak menghasilkan atau tidak membayar, kita menjadi “beban,” “tidak produktif,” atau “tidak berguna.” Di sini, nilai manusia direduksi menjadi angka di rekening.
Kita perlu jujur: dunia yang kita tinggali saat ini adalah dunia di mana pragmatisme berkelindan dengan kapitalisme untuk menciptakan masyarakat yang jinak. Mereka yang berkuasa tidak perlu repot menindas, karena kita sudah menindas diri sendiri dengan cara berpikir yang mereka tanamkan. Kita merelakan alam berubah jadi aset, tubuh jadi data, hidup jadi statistik. Dan semua itu terasa normal karena kita dilatih untuk percaya bahwa begitulah cara dunia bekerja.
Tapi normal bukan berarti benar. Kenyataan bahwa untuk mandi saja kita harus membayar seharusnya menjadi peringatan, bukan kebiasaan. Setiap liter air yang mengalir dari keran adalah simbol dari dunia di mana hak dasar hanya ada kalau kita mampu menebusnya. Dan jika kita tidak membayar, orang lain akan membayar untuk kita—bukan karena kebaikan hati, tapi karena dalam sistem ini, tidak ada yang benar-benar gratis. Kita hanya berpindah dari satu kontrak ke kontrak lain, dari satu utang ke utang lain, dari satu ketergantungan ke ketergantungan lain.
Selama kita masih menganggap hal ini wajar, kapitalisme akan terus tumbuh megah. Ia akan memperluas wilayahnya, masuk ke sisa-sisa ruang yang belum dikuasai. Sampai suatu hari nanti, mungkin bahkan udara yang kita hirup akan diukur, dikemas, dan dijual. Dan ketika hari itu tiba, kita mungkin hanya akan tertawa kecut, lalu mengeluarkan kartu kredit, karena—ya—begitulah dunia sekarang.
Air adalah contoh yang terlalu jelas untuk diabaikan. Dulu, hak atas air dianggap mutlak. Tapi hari ini, air hanyalah komoditas di neraca perusahaan utilitas. Kita membayar tagihan, dan jika telat, suplai diputus. Tidak peduli apakah air itu jatuh dari langit tanpa biaya produksi, karena dalam logika kapitalisme, yang dihargai bukan keberadaan sumber daya itu sendiri, melainkan siapa yang memegang kunci distribusinya. Bahkan di beberapa kota, perusahaan multinasional diberi konsesi eksklusif untuk mengelola air publik, yang berarti hak hidup seluruh populasi kota bergantung pada kebijakan dewan direksi yang mungkin duduk ribuan kilometer jauhnya. Hak berubah menjadi izin, dan izin selalu bisa dicabut.
Lihat bagaimana logika ini menyusup ke semua aspek hidup. Pendidikan, yang seharusnya membebaskan, kini menjadi arena seleksi brutal yang diatur oleh kemampuan bayar. Kampus negeri semakin mahal, kampus swasta sudah seperti kasino intelektual—siapa yang punya modal bisa bermain, siapa yang tidak bisa bayar dibiarkan menonton dari luar. Pengetahuan menjadi barang dagangan, dan gelar menjadi tiket masuk ke lingkaran kerja yang sama-sama dikuasai oleh modal. Di sini, pragmatisme tumbuh subur: orang tua bekerja mati-matian, bukan untuk membangun dunia yang lebih adil, tapi untuk memastikan anaknya masuk sekolah yang “layak,” karena semua orang tahu di luar pagar itu, hidup jadi lebih keras.
Kesehatan pun tak luput. Rumah sakit lebih mirip perusahaan jasa premium ketimbang institusi penyelamat nyawa. Layanan dipaketkan, dibedakan kelasnya, dan dirancang untuk memaksimalkan margin. Sistem asuransi menutupi sebagian luka, tapi tetap mempertahankan logika bahwa hidup sehat adalah hak istimewa, bukan hak dasar. Kita dipaksa memilih paket sesuai kemampuan, bukan sesuai kebutuhan medis. Jika ada yang membayar tagihan rumah sakit kita, itu bukan berarti kita bebas dari sistem, melainkan kita hanya menjadi beban yang dialihkan—dari beban finansial pribadi menjadi beban kolektif dalam struktur asuransi yang dioperasikan demi profit.
Kapitalisme tidak pernah puas hanya menguasai hal-hal besar. Ia merembes ke detail terkecil dalam hidup kita, termasuk waktu luang. Lihat bagaimana hobi kini menjadi pasar: olahraga butuh langganan gym, game butuh in-app purchase, membaca butuh platform berbayar, bahkan sekadar berjalan di taman kota pun sering kali disertai tiket masuk. Kita membayar untuk mendapatkan sensasi “bebas” di ruang publik yang sesungguhnya dibiayai oleh pajak kita sendiri. Di sini letak ironi itu—kita membayar dua kali, dan tidak ada yang merasa aneh.
Yang membuat ini semakin memuakkan adalah narasi pembenaran yang terus-menerus digelontorkan: bahwa semua ini adalah soal “pilihan.” Bahwa ada versi gratis kalau mau repot, dan ada versi berbayar kalau mau praktis. Tapi versi gratis itu seringkali dipersulit, dipangkas, atau dibuat setengah mati agar kita mau menyerah dan membayar. Transportasi umum yang tidak nyaman, layanan publik yang berbelit, antrian panjang di fasilitas gratis—semua itu adalah bentuk nudging halus untuk memaksa kita beralih ke layanan privat yang lebih cepat, lebih bersih, tapi jelas lebih mahal. Pada titik ini, kapitalisme sudah bukan sekadar sistem ekonomi, tapi mesin rekayasa perilaku.
Pragmatisme tumbuh di tanah yang dibajak oleh logika ini. Kita belajar untuk berhenti bertanya “kenapa harus bayar” dan mulai bertanya “berapa biayanya.” Kita menilai segalanya dalam rupiah, dolar, atau mata uang lain. Waktu adalah uang, relasi adalah jaringan, perhatian adalah engagement, bahkan moralitas diukur dari nilai donasi. Ini adalah cara berpikir yang membunuh imajinasi tentang dunia yang bebas dari transaksi. Generasi baru bahkan mungkin tidak pernah merasakan seperti apa rasanya hidup di luar pagar itu—bagi mereka, membayar untuk mandi sama normalnya dengan membayar untuk makan atau minum.
Namun, kapitalisme tidak pernah berdiri sendiri. Ia bekerja sama dengan politik, hukum, dan teknologi untuk mengamankan posisinya. Regulasi dibuat untuk “menjaga stabilitas pasar,” yang artinya menjaga keuntungan mereka yang sudah berkuasa. Hukum melindungi kepemilikan modal lebih ketat daripada melindungi hak rakyat. Teknologi—yang katanya netral—digunakan untuk memantau, memprediksi, dan memengaruhi perilaku konsumen. Aplikasi yang kita pakai untuk pesan makan siang juga merekam lokasi kita, kebiasaan makan, bahkan waktu tidur. Semua itu adalah data yang bisa dijual, dan seperti air, data pribadi kini menjadi komoditas yang nilainya melampaui minyak.
Mari kita tarik napas sejenak dan bayangkan kemungkinan yang paling ekstrem: bagaimana jika semua yang kita anggap gratis hari ini—udara, cahaya matahari, atau bahkan kehangatan pelukan—kelak bisa dimonetisasi? Bagi banyak orang, ini terdengar seperti lelucon distopia. Tapi mari ingat, seratus tahun lalu, ide membayar untuk air minum pun akan dianggap konyol. Kini, kita berdiri di antrean vending machine air galon tanpa merasa aneh sedikit pun. Normalisasi adalah senjata paling efektif dalam sejarah kapitalisme.
Dan di sinilah letak bahayanya: sistem ini tidak hanya mengatur bagaimana kita hidup, tapi juga bagaimana kita membayangkan masa depan. Ia memotong kemungkinan lain, hingga kita percaya bahwa tidak ada alternatif. Ia mengubah masyarakat menjadi kumpulan individu yang sibuk bertahan hidup masing-masing, kehilangan rasa kolektif untuk menuntut perubahan. Dalam dunia seperti ini, kalimat “jika kau tidak membayarnya, pasti ada orang lain yang membayarnya untukmu” bukan hanya pernyataan faktual, tapi juga ancaman halus: kau tidak pernah benar-benar bebas dari sistem.
Mereka yang diuntungkan oleh sistem ini paham betul cara mempertahankannya. Mereka menciptakan kelas menengah yang cukup nyaman untuk tidak memberontak, tapi cukup khawatir untuk terus bekerja. Mereka memelihara ilusi mobilitas sosial, sehingga setiap orang percaya bahwa kerja keras akan membawa mereka naik. Padahal, mobilitas itu adalah eskalator yang rusak—satu dua orang mungkin sampai ke atas, tapi mayoritas hanya naik setengah lalu tersangkut di tengah. Sementara itu, harga untuk sekadar bertahan di lantai yang sama terus naik.
Kapitalisme modern adalah istana megah yang dibangun di atas fondasi ketidakadilan struktural. Dan seperti semua istana, ia butuh tembok tinggi, parit lebar, dan pasukan penjaga. Hanya saja, di zaman ini, tembok itu adalah harga, parit itu adalah birokrasi, dan pasukan penjaga itu adalah mentalitas pragmatis yang kita rawat sendiri. Kita menjaga pagar yang mengurung kita, sambil merasa itu adalah pagar yang melindungi.
Kenyataan bahwa kita membayar untuk mandi hanyalah gejala. Penyakit sebenarnya adalah sistem yang meyakinkan kita bahwa semua hak adalah produk, semua kebutuhan adalah pasar, dan semua orang adalah pelanggan. Dan selama kita menerima ini sebagai kebenaran mutlak, mesin itu akan terus berputar, mengubah setiap tetes air, setiap helaan napas, dan setiap detik hidup menjadi angka di laporan laba rugi.
Mungkin hari ini kita masih bisa bercanda soal betapa ironisnya membayar untuk mandi. Kita masih bisa menertawakan meme tentang subscription life—hidup yang serba berlangganan, dari musik, film, sampai aplikasi cuaca. Tapi tawa itu pahit, karena di bawahnya ada rasa takut yang jarang kita akui: bahwa kita sedang bergerak menuju dunia di mana keberadaan manusia itu sendiri akan tunduk pada kontrak, tagihan, dan syarat layanan.
Kita akan membayar untuk lahir di rumah sakit yang “layak.” Kita akan membayar untuk tumbuh dalam pendidikan yang “terstandar.” Kita akan membayar untuk sehat, untuk bergerak, untuk tertawa, bahkan untuk tidur nyenyak tanpa iklan yang menyusup ke mimpi. Dan jika kita tidak mampu membayar? Maka kita akan hidup di pinggiran sistem—di tempat di mana air kotor, udara berdebu, dan waktu luang hanyalah mitos.
Kapitalisme tidak akan berhenti karena ia tidak mengenal kata cukup. Ia akan terus mencari celah baru untuk mengubah hidup menjadi pasar, hak menjadi produk, dan manusia menjadi komoditas. Dan ia akan melakukannya dengan rapi, elegan, dan penuh alasan logis, sampai kita lupa bahwa dulu pernah ada dunia di mana air mengalir tanpa meteran, di mana mandi hanyalah mandi, dan hidup tidak selalu punya label harga.
Jika kita tidak mulai bertanya, menolak, dan membongkar logika ini, maka kalimat “untuk mandi saja kita harus membayar” akan menjadi pembuka yang jinak untuk babak yang lebih gelap—babak di mana bahkan untuk sekadar berada di sini, menghirup udara, kita harus memasukkan koin ke mesin.
Dan pada hari itu, kita mungkin akan berkata sambil menghela napas, “Ah, begitulah dunia sekarang.” Dan saat itulah, permainan mereka sudah selesai—dan kita yang kalah.
Be First to Comment