Esai

Perbudakan Modern: Belenggu Baru dalam Wajah yang Berbeda
Di masa lalu, perbudakan adalah tindakan terang-terangan yang menindas secara fisik. Budak dirantai, dipaksa bekerja tanpa upah, diperlakukan sebagai barang milik yang dapat dibeli dan dijual. Namun kini, sistem itu telah berevolusi menjadi sesuatu yang lebih halus, lebih canggih, dan lebih sulit dikenali: perbudakan modern. Ia tak lagi membutuhkan cambuk dan rantai. Cukup dengan utang, kontrak kerja tanpa akhir, manipulasi ideologis, serta janji palsu tentang kebahagiaan, manusia dikondisikan untuk menjadi budak secara sukarela. Perbudakan lama dirancang dengan tirani, sementara perbudakan modern dibangun melalui persetujuan yang dimanipulasi.
Perubahan Wajah Perbudakan
Jika dahulu para budak tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri, kini manusia modern secara “sadar” menyerahkan waktu, tenaga, dan bahkan hidupnya kepada sistem yang menjanjikan stabilitas dan kesuksesan. Sistem itu bernama kapitalisme, dan alatnya bernama negara.
Dalam perbudakan lama, penguasaan dilakukan melalui ketakutan terhadap kekerasan fisik. Dalam perbudakan modern, ketakutan itu berubah menjadi ketergantungan terhadap sistem yang mengatur kebutuhan dasar: pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal. Ketika manusia menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada sistem ini, mereka kehilangan kedaulatan atas waktu dan eksistensinya sendiri. Michel Foucault menyebut ini sebagai “biopolitik”—di mana kekuasaan tidak lagi bekerja dengan kekerasan, melainkan mengontrol hidup dari dalam, melalui tubuh dan pikiran.
Manipulasi Pikiran: Membeli Kebahagiaan, Menyewa Makna Hidup
Salah satu senjata utama perbudakan modern adalah manipulasi ide tentang kebahagiaan. Industri dan media massa, yang berada dalam genggaman kapital, menggiring manusia untuk percaya bahwa hidup yang bahagia adalah hidup yang penuh kepemilikan: rumah, mobil, gadget, pakaian bermerek, liburan eksotis. Kebahagiaan bukan lagi soal kedamaian batin atau relasi yang sehat, melainkan soal berapa banyak keinginan yang berhasil diwujudkan.
Manusia pun terperangkap dalam logika konsumerisme: bekerja untuk membeli, membeli untuk merasa bernilai. Padahal, seperti yang dikatakan tokoh revolusioner Amerika Latin, Che Guevara, “Revolusi bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk membebaskan manusia dari struktur yang memperbudak.” Kapitalisme justru melakukan sebaliknya: menciptakan keinginan yang tak pernah habis agar manusia terus bekerja dan mengonsumsi tanpa henti.
Contoh paling nyata adalah bagaimana generasi muda kini dibombardir oleh iklan gaya hidup di media sosial: harus memiliki “lifestyle”, harus produktif, harus sukses, harus memiliki “branding” diri. Di balik narasi motivasional tersebut, tersembunyi tekanan sistemik yang membuat banyak orang merasa gagal hanya karena tidak sesuai dengan standar kapitalistik tersebut.
Belenggu Baru: Utang, Kontrak, dan Cicilan
Ketika narasi kebahagiaan diukur dari materi, maka hutang menjadi alat untuk menggapainya. Cicilan rumah 30 tahun, kredit kendaraan, pinjaman pendidikan, hingga buy now pay later—semuanya adalah alat domestikasi modern. Kita tidak lagi dikurung di ruang sempit, tetapi dijebak dalam perputaran ekonomi yang membuat kita tidak pernah benar-benar merdeka.
Kontrak kerja pun menjadi bentuk perbudakan terselubung. Banyak pekerja muda terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang sebenarnya tak memberikan kepastian hidup. “Kerja remote”, “gig economy”, dan “freelancer” yang tampak bebas ternyata justru memperparah ketidakamanan finansial. Tidak ada jaminan sosial, tidak ada pensiun, dan tidak ada kontrol atas jam kerja. Kapitalisme menjual ilusi kebebasan, padahal ia memperluas kendalinya ke dalam kehidupan pribadi.
Negara dan Perannya: Penjaga Sistem atau Pembebas?
Negara, dalam banyak kasus, tidak lagi menjadi penjamin keadilan sosial, melainkan menjadi penopang sistem kapitalisme. Regulasi yang dibentuk cenderung berpihak pada korporasi, sementara rakyat dibebani pajak, birokrasi, dan kebijakan upah murah.
Mantan presiden Uruguay, José Mujica, pernah berkata, “Kita tidak hidup untuk bekerja. Kita bekerja untuk hidup, dan hidup tidak hanya untuk membeli dan membeli.” Namun realitas saat ini berkata sebaliknya. Negara seolah membiarkan rakyatnya hidup dalam kondisi upah minimum, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan pendidikan serta kesehatan yang dikomersialisasikan.
Pendidikan: Pabrik Budak Berlabel “Ilmu”
Sistem pendidikan pun telah menjadi bagian dari mesin perbudakan modern. Sekolah dan universitas tidak lagi mendidik untuk berpikir kritis dan membebaskan, melainkan mencetak tenaga kerja sesuai kebutuhan pasar. Anak-anak muda belajar bukan untuk menjadi manusia utuh, tapi untuk “siap kerja”. Di sinilah Paulo Freire, dalam karyanya Pedagogy of the Oppressed, menggugat sistem pendidikan yang menindas: “Pendidikan sejati bukan tentang mengisi kepala, tapi membebaskan kesadaran.”
Kapitalisme menuntut manusia yang patuh, bukan yang bebas. Maka kesadaran harus dibentuk sedari dini agar manusia percaya bahwa hidup ideal adalah hidup yang produktif, efisien, dan kompetitif—semua demi roda ekonomi yang terus berputar.
Jalan Keluar: Kesadaran dan Perlawanan
Perbudakan modern hanya bisa dihancurkan jika manusia kembali merebut kendali atas hidupnya sendiri. Kesadaran adalah langkah awal untuk meruntuhkan sistem yang selama ini tidak terlihat. Kesadaran bahwa hidup tidak harus mengikuti standar kapitalisme. Bahwa kebahagiaan tidak bisa dibeli. Bahwa waktu adalah milik manusia, bukan sistem.
Para pemikir pembebasan seperti Frantz Fanon pernah berkata, “Setiap generasi harus, dalam ketidakjelasan misinya, menemukan tujuannya sendiri dan memenuhinya atau mengkhianatinya.” Generasi hari ini perlu menyadari bahwa musuh mereka bukan sekadar kemiskinan atau pengangguran, tetapi sistem yang menciptakan kondisi itu sebagai alat dominasi.
Kesadaran harus disertai keberanian untuk menciptakan ruang alternatif: koperasi pekerja, komunitas swasembada, pendidikan akar rumput, solidaritas lintas kelas. Ini bukan sekadar utopia, melainkan satu-satunya cara agar manusia dapat merebut kembali dirinya dari sistem yang menjadikannya budak terselubung.
Penutup
Perbudakan memang telah berganti wajah. Ia tak lagi menyiksa tubuh, tetapi membentuk jiwa. Ia tak lagi menjual manusia, tetapi menjual ilusi kebebasan. Dalam dunia yang memaksa kita untuk hidup dalam sistem yang tak kita ciptakan, mempertanyakan segala hal adalah bentuk pertama dari kebebasan.
Seperti kata Emma Goldman, anarkis dan feminis abad 20, “Kebebasan tidak akan diberikan oleh mereka yang menindas. Ia harus direbut oleh mereka yang ditindas.” Maka kini, lebih dari sebelumnya, kita harus kembali bertanya: Apakah kita benar-benar bebas, atau hanya budak dengan pilihan yang dimanipulasi?
Be First to Comment